Rabu, 31 Agustus 2011

Pengaruh Lingkungan terhadap Organisasi

Pengaruh Lingkungan terhadap Organisasi


Lingkungan dalam konteks organisasi ini bukan hanya merupakan lingkungan fisik, lingkungan organisasi merupakan elemen-elemen diluar organisasi yang mempengaruhi organisasi tetapi sulit dipengaruhi oleh organisasi. Elemen-elemen tersebut dapat dicontohkan seperti masyarakat, pemerintah, kebijakan dan peraturan pemerintah, kompetitor, dan lain-lain. Sebuah organisasi yang efektif pada suatu lingkungan tertentu belum tentu efektif pada lingkungan yang berbeda. Inilah pentingnya kita mempelajari teori organisasi dan lingkungan organisasi.

Emery & Trist membagi lingkungan organisasi menjadi 3, yaitu:

1.   Lingkungan Placid
Yaitu lingkungan organisasi yang sifatnya sederhana (tidak banyak elemennya) dan tidak cepat berubah. Contoh lingkungan Placid yaitu lingkungan pada organisasi kelurahan di desa, dimana lingkungannya tidak terdapat banyak elemennya dan cenderung tidak mudah berubah. Kita dapat lihat dari masyarakat desa yang kebutuhannya cenderung tidak cepat berubah atau tidak banyak tuntutan seperti masyarakat di kota.

2.   Lingkungan Disturbed Reactive
Yaitu lingkungan yang terdapat saingannya (kompetitor) dan yang bereaksi terhadap tindakan organisasi tersebut. Contoh lingkungan disturbed reactive ini adalah lingkungan pada perusahaan rokok, perusahaan provider telekomunikasi dan lainnya, dimana jika satu perusahaan melakukan promosi akan direaksi oleh yang lain. Dapat kita lihat ketika sebuah perusahaan provider telekomunikasi melakukan promosi berupa diskon tarif maka cenderung akan diikuti oleh provider lain dengan promosi-promosi lainnya.

3.   Lingkungan Turbulent
Yaitu lingkungan yang kompleks (terdapat banyak elemenya) dan bersifat sangat dinamis atau cepat berubah. Contoh dari lingkungan turbulent ini adalah lingkungan pada perusahaan Konsultan, dimana lingkungannya terdapat banyak peraturan-peraturan, terdapat kebutuhan konsumennya yang berubah-ubah.


Sedangkan Organisasi dilihat dari struktur lingkungannya dapat dibagi menjadi 2, yaitu
1.   Organisasi Mekanistik
2.   Organisasi Organik

Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari dimensi-dimensi pembentuk struktur organisasi tersebut, seperti table berikut:

Dimensi
Mekanistik
Organik
1.   Pembagian Tugas
·         Pada organisasi mekanistik tugas didefinisikan dengan jelas.
·         Pada organisasi organik tugas pada organisasi dibuat global (tidak rinci) dan selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
2.   Pembagian Wewenang
·         Pada organisasi mekanistik pembagian wewenang cenderung sentralistik, dimana wewenang lebih banyak di pusat/ top manajemen, sedangkan bawahan hanya memiliki sedikit wewenang.
·         Pada organisasi organik pembagian wewenang cenderung desentralistik, dimana bawahan diberikan kewenangan yang lebih.
3.   Hubungan kerja
·         Dalam organisasi mekanistik hubungan kerja yang mendominasi adalah hubungan vertikal antara atasan dan bawahan (Vertical relationship)
·         Dalam organisasi organic hubungan kerja lebih didominasi oleh hubungan lateral (Lateral Relationship)
4.   Formalisasi
·         Pada organisasi mekanistik formalisasi (tingkat formalitas yang ada dalam hubungan kerja) tinggi
·         Pada organisasi organik formalisasinya rendah
5.   Ukuran Kinerja
·         Pada organisasi mekanistik ukuran kinerja yang dominan adalah Loyalitas dan Kepatuhan.
·         Pada organisasi organik ukuran kerja yang dominan adalah Komitmen dan Prestasi.


Bagaimana Lingkungan organisasi akan mempengaruhi organisasi? Manakah dari tipe struktur organisasi yang tepat untuk menjawab lingkungan tertentu? Semuanya dapat dilihat dari Teori berikut:
a.   Lingkungan Placid lebih tepat dijawab dengan organisasi yang mekanistik
b.   Lingkungan Turbulent lebih efektif dengan organisasi yang Organik
c.    Sedangkan Lingkungan Disturbed Reactive lebih tepat dijawab oleh struktur organisasi yang mix antara mekanistik dan organik.

Jika diketahui sebuah perusahaan mempunyai lingkungan yang turbulent dan ternyata perusahaan tersebut memiliki struktur organisasi yang mekanistik, maka yang harus dilakukan adalah perubahan dari organisasi yang mekanistik menjadi organisasi organik. Caranya yaitu dengan merubah dimensi-dimensi struktur organisasi dari mulai pembagian tugas sampai dengan ukuran kinerja. Misalkan dimensi pembagian tugas pada organisasi yang mekanistik yang sentralisasi dirubah menjadi organisai dengan struktur yang lebih desentralisasi, dimana kewenangan yang tadinya hanya ada dipusat/ top manajemen menjadi organisasi yang lebih memberikan otorisasi pada divisi atau bawahan dengan adanya pendelegasian wewenang. Dengan adanya pendelegasian wewenang ini diharapkan mampu membangun kreatifitas divisi-divisi atau karyawan-karyawan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan organisasi dan menjawab perubahan yang cepat pada lingkungan turbulent.

>>> Indahnya berbagi ilmu <<<

Referensi :
Organization Theory (Dessler)
Organizational Behavior (Stephen Robbin)



Pengaruh Strategi Perusahaan terhadap Organisasi


Pengaruh Strategi Perusahaan terhadap Organisasi


Setiap perusahaan mempunyai strategi masing-masing dalam menjalankan roda bisnisnya. Strategi digunakan untuk mencapai tujuan organisasi. Terdapat 3 level strategi dalam organisasi, yaitu:
1.       Strategi korporasi
Strategi di level korporasi menjelaskan perjalanan bisnis (business track) dari perusahaan.
2.       Strategi Bisnis
Strategi di level bisnis berkaitan dengan cara bersaing perusahaan.
3.       Strategi Fungsional
Strategi di level fungsional berkaitan dengan fungsi-fungsi bisnis perusahaan, sehingga dikenal ada 4 macam strategi yaitu:
a.       Strategi Marketing
b.      Strategi Operation
c.       Strategi Financial
d.      Strategi Human Resource (HR)

STRATEGI KORPORASI
Terdapat 3 strategi di level Korporasi, antara lain:

1.       Strategi Defender
Yaitu strategi yang tujuannya mempertahankan produk dan pangsa pasar yang telah dikuasai dengan cara membuat produk atau jasa yang berkualitas baik dengan harga yang terjangkau.
Perusahaan dengan strategi Defender akan melakukan, antara lain:
a.       Fokus pada produk yang sudah ada
b.      Mempertahankan produk dengan kualitas tinggi dan harga bersaing
c.       Mempertahankan segmen pasar
d.      Tidak tertarik pada penjajagan produk baru
e.      Menjaga stabilitas
Sehingga strategi defender akan menuntut perusahaan untuk berkarakteristik seperti berikut:
Ø  Perusahaan dengan strategi defender akan cenderung Sentralistik, artinya dalam perusahaan tersebut kewenangan lebih banyak pada pimpinan maupun di pusat. Karena perusahaan ini harus menekannkan cost sesuai dengan karakter strateginya yang mempertahankan harga yang bersaing.
Ø  Disamping Sentralistik perusahaan dengan strategi defender akan mempunyai formalisasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan dengan sentralisasi dan formalisasi akan mendukung perusahaan dalam menerapkan efisiensi. Sehingga dari formalisasi ini akan menciptakan hubungan kerja yang impersonal relationship atau hubungan kerja yang tidak secara personal.
Ø  Karakteristik lain dari strategi defender adalah adanya standarisasi yang tinggi. Dalam hal ini pekerjaan akan distandarkan metode kerjanya, produk distandarkan bentuk dan ukurannya. Standarisasi ini diharapkan mampu menciptakan efisiensi dalam perusahaan yang defender.

2.       Strategi Prospector
Yaitu strategi yang mendorong perusahaan untuk mencari peluang- peluang baru, baik untuk mengembangkan produk baru maupun pasar baru. Strategi Prospektor selalu mendorong perusahaan untuk berinovasi. Sehingga strategi prospector merupakan kebalikan dari strategi defender.
Karakteristik dari strategi prospector ini antara lain:
a.       Adanya desentralisasi, dimana ditandai dengan adanya pedelegasian kewenangan.
b.   Formalisasi organisasi yang rendah, artinya hubungan kerja tidak terlalu diatur oleh prosedur-prosedur dan standarisasi yang tinggi.
c.       Fleksibilitas tinggi, seperti jam kerja yang fleksibel, otorisasi penggunaan uang yang lebih fleksibel dan lain lain.

3.       Strategi Analyzer
Strategi Analyzer merupakan campuran antara strategi defender dan prospector. Strategi ini meminimalisir resiko tetapi juga memanfaatkan peluang-peluang. Sehingga strategi ini tetap mempertahankan karakteristik defender yang mempertahankan kualitas dan juga karakteristik dari prospector yang melakukan inovasi. Artinya bahwa perusahaan dengan strategi analyzer ini akan mempertahankan kualitas produk-produk yang sudah menguasai pasar, mempertahankan delivery time yang baik dan lainya, tetapi juga perusahaan ini akan mencari peluang-peluang untuk mengembangkan produk-produk baru.
Bagaimana karakteristik organisasi yang terbentuk dari strategi analyzer tersebut, yaitu:
a.      Pada produk yang sudah menguasai pasar maka akan diterapkan Sentralisasi dan pada produk-produk yang mengembangkan pasar dilakukan desentralisasi.
b.     Pada bagian-bagian atau divisi-divisi yang berkaitan dengan mempertahankan produk lama akan diterapkan formalisasi yang tinggi sedangkan pada divisi-divisi yang berkaitan dengan penemuan produk baru (inovasi) diterapkan formalisasi yang rendah.

STRATEGI GENERIC
Terdapat 3 strategi di level Bisnis, yaitu:

1.       Strategi Cost leadership
Yaitu strategi bersaing dengan cara membuat produk/jasa dengan kualitas yang baik namun yang menjadi kuncinya adalah harga (Cost). Sehingga dalam strategi cost leadership harga (Cost) dijadikan kunci untuk meningkatkan daya saing. Contoh dari strategi cost leadership saya contohkan pada perusahaan penerbangan Air Asia, dimana strategi yang digunakan perusahaan tersebut yaitu dengan menawarkan harga yang sangat kompetitif walaupun fasilitasnya berbeda dengan perusahaan perusahaan penerbangan kelas tinggi seperti Garuda Indonesia.
Karakteristik organisasi yang akan diterapkan dalam perusahaan yang memiliki strategi Cost leadership ini akan cenderung menekankan Sentralisasi dan Formalisasi. Karena dengan sentralisasi dan formalisasi akan mendukung efisiensi, sehingga dari efisiensi tersebut perusahaan cost leadership akan dapat menekan operation cost dan production cost sehingga menciptakan harga yang kompetitif.

2.       Strategi Product Leadership
Yaitu strategi bersaing dengan cara membuat produk atau jasa yang unik atau inovatif, meskipun produk/jasa tersebut dijual dengan harga mahal. Contoh dari perusahaan yang menerapkan strategi ini saya contohkan pada perusahaan teknologi seperti Apple. Apple merupakan perusahaan teknologi yang paling inovatif di dunia, produk-produknya merupakan pelopor inovasi dalam dunia teknologi meskipun harga dari produk-produk tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk merek lainnya.
Contoh lain yang lebih kecil dapat dilihat dari butik-butik yang menjual pakaian dengan harga mahal, namun pakaian tersebut dibuat secara unik dengan jumlah yang terbatas dan kualitas produk yang tinggi, dan kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan pakaian di toko biasa.
Karakteristik organisasi yang harus dimiliki oleh perusahaan dengan strategi Product leadership ini adalah Desentralisasi dan Fleksibilitas. Karena dengan organisasi yang desentralisasi akan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pekerja atau divisi untuk berkreatifitas, dan dengan fleksibilitas yang tinggi juga dapat medorong karyawan atau divisi untuk memiliki kebebasan yang lebih untuk berinovasi.

3.       Strategi Focus
Yaitu strategi bersaing dengan cara memfokuskan produk/jasa pada suatu segmen market tertentu sehingga produk/jasa tersebut disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari segmen tersebut. Contoh dari strategi Fokus ini dapat dilihat pada perusahaan –perusahaan yang khusus memproduksi pakaian-pakaian dan asesoris anak muda atau yang dikenal dengan Distro. Distro memfokuskan diri pada segmen market anak muda sehingga produk-produknnya sangat disesuaikan dengan kebutuhan kaum remaja.
Sehingga dari cirri-cirinya diatas maka perusahaan dengan strategi Focus harus merupakan organisasi yang memiliki fungsi marketing yang kuat karena organisasi ini harus terus memantau kebutuhan spesifik marketnya. Oleh karena itu karakteristik organisasi yang diterapkan akan tergantung pada Fokus dari perusahaan tersebut: Jika fokusnya kaum remaja maka disamping harus memantau kebutuhan pasar tetapi juga karena segmennya remaja maka harga harus disesuaikan dengan daya beli kaum remaja, sehingga dalam kasus ini akan perusahaan harus menekankan efisiensi, sehingga karakteritik organisasi yang harus dibentuk adalah Sentralisasi dan Formalisasi. Namun jika fokusnya adalah segmen kelas atas  yang mempunyai daya beli yang tinggi maka fokusnya pada inovasi, sehingga karakteritik organisasi yang harus dibentuk adalah Desentralisasi dan Fleksibilitas.


Referensi:
Organization Theory (Dessler)
Organizational Behavior (Stephen Robbin)

Selasa, 23 Agustus 2011

Return On Training Investment (ROTI)




Return On Training Investment (ROTI)

Kinerja karyawan merupakan tolak ukur bagi perusahaan dalam melihat kontribusi karyawan terhadap pekerjaannya. Oleh karena itu diperlukan penilaian kinerja (Performance Appraisal) yang bertujuan untuk mengukur seberapa besar keberhasilan yang dicapai seorang karyawan selama periode waktu tertentu dibandingkan dengan target yang ditentukan perusahaan. Tetapi urgensi dari penilaian kinerja sesungguhnya tidak sesempit itu, tetapi jauh lebih luas lagi hingga untuk mengambil keputusan perlakuan apa yang harus diberikan terhadap karyawan atas kinerjanya selama waktu tertentu.

Artinya bahwa ada beberapa konsekuensi yang dapat diberikan kepada karyawan baik konsekuensi positif seperti promosi, kenaikan gaji, bonus dll, dan juga konsekuensi negatif seperti mutasi, demosi, hingga pemutusan kontrak kerja. Namun tidak lah semudah itu untuk memberikan tindakan-tindakan bagi karyawan yang dianggap tidak memenuhi target kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan salah satunya adalah ketrampilan dan pengetahuan terhadap pekerjaannya itu sendiri. Oleh karena itu karyawan yang berkerja dibawah standar performance berarti mempunyai kemungkinan bahwa pengetahuan dan ketrampilan kerjanya masih perlu dikembangkan. Disinilah letak pentingnya pengadaan training bagi karyawan.

Banyak perusahaan yang memberikan training pengembangan bagi karyawan-karyawannya yang dinaikan posisi/jabatannya. Namun training seharusnya tidak hanya diberikan bagi karyawan yang akan dinaikan posisi/jabatannya tetapi training juga penting bagi pengembangan kapabilitas karyawan yang dianggap berkinerja dibawah standar. Disinilah pengembangan SDM yang berupa pendidikan dan pelatihan diperlukan.

Pengembangan SDM merupakan usaha menghilangkan terjadinya kesenjangan (gap) antara kemampuan yang dimiliki seseorang tenaga kerja dengan target kerja yang dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki tenaga kerja dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya. Oleh karena itu pendidikan dan pelatihan bagi karyawan sangat penting untuk mengembangkan kapabilitas karyawan sehingga target pekerjaan dapat dicapai.

Pelatihan merupakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan teknik dan metoda tertentu untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja seseorang. Pelatihan memberikan para karyawan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka. Perbedaan antara pendidikan dengan pelatihan itu sendiri dapat dilihat dalam table berikut:

Dimensi Belejar

Pelatihan

Pendidikan

Siapa

Non Manager

Manager

Apa

Keterampilan Teknis

Keterampilan Konsep &teoritis

Mengapa

Tujuan khusus berhubungan dgn pekerjaan

Tujuan Umum

Waktu

Jangka Pendek

Jangka panjang



Robert L Kaltz menunjukan perbedaan antara pelatihan dan pengembangan pada bobot materi programnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

 

Sedangkan perbedaan bobot materi Pelatihan pada level manajemen dapat dilihat pada gambar berikut:


 
Perusahaan perlu mengetahui sejauhmana kontribusi training yang dilaksanakan terhadap perusahaan/ peningkatan kinerja SDM maupun perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu harus dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauhmana efektivitas training terhadap tujuan yang ingin dicapai. Donald L. Kirkpatrick (1998) mengatakan bahwa evaluasi suatu training adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan training  dan evaluasi tersebut merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar training secara keseluruhan dapat berlangsung secara efektif. Kirkpatrick mengemukakan teorinya yang terkenal mengenai evaluasi training melalui tulisannya di American Society for Training and Development Journal. Menurutnya, ada 4 tingkat / level dalam evaluasi training yang kemudian disebut “The Four Levels”, yaitu:

Evaluasi Level 1 : Reaction
Yaitu mengukur reaksi kepuasan peserta terhadap pelaksanaan training. Evaluasi atas reaksi peserta merupakan hal penting untuk dilakukan, karena apabila peserta bereaksi negatif dan tidak menyukai cara-cara penyelenggaraan maka peserta cenderung akan tidak mampu mempelajari dan memahami dengan baik materi training. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain Materi training, Instruktur/Trainer, Fasilitas yang disediakan, Waktu penyelenggaraan, serta metode yang digunakan  

Tujuan dari evaluasi Reaction yaitu:
1.    Memberikan feedback yang berguna bagi manajer atau trainer guna penyempurnaan penyelenggaraan training berikutnya.                                                                                                                      
2.    Jika peserta tidak ditanya reaksinya maka pihak penyelenggara akan merasa paling tahu dan sudah merasa benar dalam penyelenggaraan training.                            
3.    Memberikan informasi kuantitatif sebagai masukan bagi manajer atau pihak lain yang berkepentingan dengan program training

Evaluasi Level 2 : Learning
Yaitu mengukur sejauhmana peserta memahami materi training yang        disampaikan dalam tiga domain kompetensi : Knowledge, Skill, dan Attitude. Tiga domain kompetensi : (Knowledge, Skill, dan Attitude) merupakan 3 hal yang dapat diajarkan dalam suatu training. Evaluasi pada level ini menekankan pada seberapa jauh pembelajaran (learning) peserta atas materi dalam konteks peningkatan kompetensi peserta. Menurut Kirkpatrick pentingnya evaluasi ini dilakukan, karena jika peserta tidak dapat memahami dengan baik materi yang diberikan, maka jangan berharap akan terjadi perubahan dalam behavior-nya saat dia kembali ke tempat kerjanya.

Bagaimana cara trainer atau manajer untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta dalam mengikuti training dengan baik ?
1.    Melakukan pengujian sebelum dan setelah training (pre-test dan post-test) dengan materi yang sama atau mirip sehingga hasilnya dapat diperbandingkan
2.    Jika terdapat peningkatan skor hasil post-test dibandingkan pre-test maka diyakini bahwa peserta telah memiliki pemahaman yang lebih baik sebagai dampak mengikuti training.

Evaluasi Level 3 : Behavior
Yaitu Mengukur sejauhmana peserta mengimplementasikan pemahaman kompetensi yang diperolehnya dalam lingkungan pekerjaan. Tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh perubahan yang terjadi pada eks-peserta pada saat mereka kembali ke lingkungan pekerjaannya setelah mengikuti training, khususnya perubahan atas behavior kompetensi (knowledge, skills, dan attitudes).

Ada beberapa kemungkinan yang harus dicermati dalam evaluasi ini, antara lain:
  1. Eks-peserta training tidak dapat merubah behavior-nya sampai mereka memperoleh kesempatan untuk melakukannya.
  2. Kesulitan untuk memperkirakan kapan perubahan itu akan terjadi
  3. Eks-peserta menerapkan pengetahuan dan keterampilan barunya dalam pekerjaan, namun kemudian tidak melakukannya dikemudian hari.

Evaluasi Level 4 : Result
Mengukur seberapa besar dampak pelaksanaan training terhadap kinerja pekerjaan ataupun hasil akhir yang diharapkan. Tujuannya untuk mengetahui sampai sejauhmana training yang dilakukan memberikan dampak hasil (results) terhadap peningkatan kinerja eks-peserta, unit kerja, maupun perusahaan secara keseluruhan.

Namun dalam The Four Levels menganggap bahwa dampak training tidak dapat dievaluasi dalam kontek analisa keuangan. Alasanya antara lain:
1.    Tidak mungkin mengukur results yang diperoleh dari training dalam satuan keuangan untuk kemudian dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan training tsb.
2.    Jika alasan pertama dapat dilakukan tidak lalu menyimpulkan bahwa manfaat yang diperoleh merupakan hasil langsung dari   program training, masih ada faktor-faktor lain mempengaruhi peningkatan kinerja.

Lebih lanjut menurut Teori The Four levels bahwa Results yang diperoleh seringkali merupakan sesuatu yang sulit untuk dikuantifisir, misalnya : peningkatan kualitas kerja, peningkatan produktivitas, peningkatan kepuasan kerja, efektivitas komunikasi, penurunan tingkat kesalahan, peningkatan kerjasama antar karyawan. Terlalu banyak faktor yang yang mempengaruhi perhitungan manfaat biaya suatu training.

Oleh karena itu muncul kritik terhadap Teori The Four Levels, antara lain dari Raymond A. Noe (2005) dimana mengemukakan 3 kritiknya yaitu :
  1. Setiap penelitian yang dilakukan tidak menunjukkan pemahaman bahwa setiap level dipengaruhi oleh level sebelumnya, dan tidak terbukti adanya perbedaan tingkat kepentingan dalam level evaluasi.
  2. Pendekatan yang digunakan dalam teori The Four Levels tidak memper-timbangkan tujuan dari evaluasi itu sendiri. Seharusnya menurut Noe, hasil evaluasi dihubungkan dengan kebutuhan training, tujuan training, serta pertimbangkan strategik yang melatarbelakangi diselenggarakan training tsb.
  3. Waktu pelaksanaan evaluasi. Menurut the four levels, evaluasi harus dilakukan bertahap (levels demi level), padahal dalam kenyataanya evaluasi level 1 dan level 2 harus dilakukan secara bersamaan yaitu diakhir program untuk mengukur apakah telah terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang positif atas para peserta peserta training. 
Berbeda dengan The Four Levels dari Kirkpatrick, Raymond A. Noe mengelompokan outcomes dari sebuah training sebagai berikut:
1.    Cognitive outcomes
Yaitu mengukur sejaumana peserta memahami prinsip- prinsip, fakta, teknik, prosedur, atau proses kerja yang diberikan dalam training
2.    Skill-based outcomes
Yaitu mengukur peningkatan keterampilan dan perilaku kerja peserta
3.    Affective  outcomes
Yaitu mengukur reaksi dan motivasi peserta atas penyelenggaraan training
4.    Results
Yaitu mengukur kontribusi training kepada peningkatan kinerja perusahaan
5.    Return on Investment
Yaiut memperbandingkan manfaat / hasil training dengan biaya yang dikeluarkan

Dari teori Raymond A. Noe dapat disimpulkan bahwa Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja tidak sekedar sebagai upaya pengembagan karyawan yang tidak dapat diukur kontribusi terhadap perbaikan kinerja karyawan. Sering muncul pertanyaan bagaimana mengukur benefit dari diadakanya training  karena output dari training sendiri kadang tidak dapat dilihat secara jelas. Oleh karena itu diperlukan alat ukur berupa Return On Training Invesment (ROTI), yaitu pengukuran pengembalian investasi dalam training itu sendiri. Alat ukur ini mencoba menghitung benefit dari sebuah training dari kontek finansial, karena Training merupakan sebuah investasi perusahaan melalui pengembangan SDM-nya yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu profit. Sehingga dengan ROTI perusahaan dapat menghitung benefit yang didapat dari diadakannya training tersebut.
Rumus untuk menghitung ROTI yaitu sebagai berikut:










Namun menurut Raymond A. Noe terdapat dua hal penting yang harus dicermati :

  1. Perlunya dilakukan isolasi atas faktor training dari faktor-faktor lainnya agar perusahaan dapat menyakini seberapa besar kontribusi training terhadap perubahan kinerja seseorang.
  2. Kemampuan untuk mengkonversi data yang diperoleh ke dalam ukuran-ukuran finansial.

TAHAP ISOLASI PENGARUH TRAINING
Tahap Isolasi Pengaruh training ini perlu dilakukan untuk memastikan faktor-faktor yang memiliki kontribusi terhadap kinerja seseorang setelah program training dilaksanakan, yaitu:
1.    Knowledge and Skill
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan seseorang
2.    Capacity
Kemampuan mental dan fisik individu yang memungkinkannya melakukan pekerjaan dengan baik
3.    Standard
Standar kerja yang jelas
4.    Measurement
Sistem pengukuran kinerja yang jelas, transparan, objektif, serta disusun atas dasar standar kerja yang baku.   
5.    Feedback
Informasi yang dapat diperoleh secara cepat, sering, spesifik, akurat dan objektif.
6.    Conditions
Situasi dan kondisi kerja yang kondusif, seperti sistem operasional yang baik, kelengkapan fasilitas kerja, lay out ruang yang baik, ketersediaan informasi yang dibutuhkan, serta otoritas kerja yang jelas.
7.    Incentives
Sistem penggajian yang adil, adanya insentif untuk hasil pekerjaan yang baik, penerapan sistem reward and punishment yang baik.

TAHAP IDENTIFIKASI BIAYA TRAINING
Mengidentifikasi 6 (enam) kategori biaya dalam penyelenggaraan suatu training :
  1. Need Assessment
Apabila program training didahului dengan kegiatan need assessment yang membutuhkan biaya signifikan
  1. Design and Development
Biaya yang dikeluarkan dalam rangka mendesain dan membangun program training biasanya dihitung secara rata-rata selama 1 atau 2 tahun
  1. Acquisition
Apabila program training dibeli dari pihak ketiga : pembelian lisensi, materi, biaya sertifikat, dll.
  1. Delivery                         
Komponen biaya ini meliputi : salaries of trainers, program materials, travel and meals, serta fasilitas yang digunakan.
  1. Evaluation   
Biaya yang dikeluarkan pada saat dilakukan evaluasi training khususnya level 3 dan 4 yang dilakukan setelah eks-peserta kembali ke tempat kerjanya masing-masing, seperti : biaya penyusunan dan pengiriman kuesioner dan survey yang dilakukan.
  1. Overhead
Biaya-biaya Overhead

Lebih jelas lagi perhitungan ROTI dapat dilihat dalam table berikut:

 
>>> Selamat Belajar dan mengaplikasikan ilmu anda <<<

Referensi:
Donald L. Kirkpatrick (1998) "American Society for Training and Development Journal"
Raymond A. Noe (2005) 

Me and My Piano

Me and My Piano

My Motivation Word

The way to get started is to quit talking and begin doing.