Minggu, 23 Januari 2011

Manajemen dan Spiritual

MANAJEMEN DAN SPIRITUAL
Oleh: Nur Edi Satrio



Manajemen diciptakan dengan tujuan mengatur alokasi (allocation) dan penggunaan (utilization) sumber daya perusahaan baik (tangible maupun intangible asset) untuk mencapai tujuan organisasi/perusahan secara efektif dan efisien. Pakar-pakar manajemen terdahulu jarang sekali mengangkat unsur spiritual dalam mengkaji dan merumuskan teori-teori dan strategi-strategi manajemen. Namun perkembangan jaman ini telah membuka mata para ahli manajemen bahwa unsur spiritual juga mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun berbagai fungsional manajemen, seperti dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan manajemen pemasaran.

Sebut saja teori-teori mengenai SDM terkini seperti 3Q, 4Q, bahkan hingga 7Q dimana selalu terdapat unsur spiritual, para ahli SDM maupun praktisi SDM mulai mengangkat unsur-unsur spiritual dalam mengembangkan pandangan-pandangan mengenai manusia yang ideal. Pandangan manajemen SDM pada awalnya hanya menitik beratkan unsur Intellectual Quotient kemudian berkembang dengan kemunculan Emotional Quotient. Intellectual Quotient saja dianggap tidak cukup dalam membentuk SDM yang ideal, mungkin dapat diartikan secara sederhana bahwa orang pintar saja tidak cukup untuk menjadi pribadi yang dapat diandalkan perusahaan tetap juga perlu pribadi yang mempunyai kecerdasan emosi yang dapat membangun hubungan yang bagus baik dalam internal perusahaan dan juga hubungan dengan customer.

Namun sekarang pandangan itu tidak cukup untuk membentuk pribadi yang ideal saat ini, terbukti bahwa dengan hanya pengembangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seorang pekerja, perusahaan banyak menemukan masalah yang terkait dengan rendahnya spiritual dalam diri karyawannya, misalnya berkaitan dengan integritas karyawan (kejujuran/dapat dipercaya), kemampuan membangun lingkungan kerja yang saling berbagi (ilmu dan hal-hal positif), nurani karyawan dan manajer, dan sebagainya. Contoh paling jelas dapat dilihat dari sebuah kasus korupsi, ini jelas menggambarkan lemahnya spiritual quotient dalam diri karyawan tersebut. Pengembangan spiritual manusia bertujuan mengingatkan kembali pada karyawan bahwa manusia adalah makluk Tuhan yang mempunyai nurani yang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haram (menuai dosa) dan mana yang halal (menuai pahala). Membentuk manusia yang berspiritual juga membantu manajemen dalam membangun budaya kerja yang sehat karena aspek-aspek spiritual tersebut akan mendorong karyawan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya. Agama mengajarkan manusia untuk membagi ilmu, maka jika perusahaan mengembangkan spiritual quotient karyawan akan tercipta knowledge management tanpa harus bersusah payah, karena karyawan merasa bahwa berbagi merupakan kewajiban manusia terhadap manusia lainnya. Knowledge management akan menciptakan knowledge worker dan pada akhirnya menciptakan knowledge company. Individu yang hanya dikembangkan dengan kecerdasan intelektual dan emosional saja tanpa memupuk kecerdasan spiritual mungkin hanya akan berpikir untuk dirinya sendiri.

Dalam fungsi manajemen lainya, seperti dalam manajemen pemasaran (Marketing). Para ahli pemasaran mulai mengangkat unsur spiritual dalam marketing. Apa yang melatarbelakangi hal ini tidak lain adalah perkembangan teknologi informasi dan perkembangan pengetahuan konsumen yang telah menuntut manajemen untuk melakukan perubahan dalam merumuskan strategi pemasarannya. Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan transparasi informasi secara global di dunia, konsumen tidak lagi buta informasi terhadap produk apapun, hanya dengan meng-”klik” tombol dalam laptop atau ponsel-nya seorang calon pembeli dapat melihat informasi sebuah produk lengkap dengan harga dan spesifikasi produknya, dan bahkan informasi mengenai harga pasaran. Sehingga kita harus sepakat bahwa konsumen jaman sekarang sudah semakin pintar. Konsumen tidak lagi mudah dibohongi dengan retorika iklan dan komunikasi pemasaran lainnya. Aspek lainnya adalah berkembangnya jaringan sosial (social network) dalam masyarakat terutama di internet, sebut saja facebook, tweeter, dan forum-forum social network lainnya yang membuat informasi dapat menyebar secepat wabah penyakit. Sehingga jika suatu perusahaan berbohong atau melakukan hal-hal yang merugikan customer maka informasi itu akan tersebar dengan cepat dan akhirnya citra perusahaan tersebut menjadi menurun atau bahkan menjadi buruk di masyarakat konsumen.

Oleh karena itu manajemen pemasaran pun mulai mengangkat unsur spiritual dalam melakukan komunikasi pemasarannya. Kejujuran perusahaan menjadi modal utama dalam meraih hati konsumen dan menjaga citra produk (Product image) maupun citra perusahaan (Company image). Baru-baru ini pemikir manajemen pemasaran Philip kotler bersama dengan Hermawan kertajaya telah menelurkan sebuah buku berjudul Marketing 3.0, buku ini mengangkat tentang pentingnnya unsur spiritual dalam marketing masa kini. Perkembangan marketing melewati beberapa Era, dari mulai Era marketing 1.0 dimana menekankan “Product Price and benefit”, maksudnya bahwa produk dengan harga yang murah akan dapat meraih pembelian konsumen. Kemudian berkembang menjadi Era marketing 2.0 dimana menekankan pada Emotional Connection, sehingga marketing 2.0 mengembangkan unsur emotional quotient bagi marketernya untuk tujuan menciptakan customer relation, sesuai dengan slogannya “it’s not what you sell, it’s how you sell”. Dengan menekannya pada hubungan emosional kepada pelanggan, marketing 2.0 berdalil bahwa harga yang mahal tidak akan menjadi masalah bagi konsumen jika kita dapat menjual produk dengan service yang lebih. Kemudian sekarang lahirlah marketing 3.0, yang menekannkan pada positif values and spiritual. Marketing 3.0 berpendapat bahwa saat ini perusahaan harus dapat menyampaikan maksud dan tujuan baik perusahaan dengan memberikan nilai-nilai positif kepada pelanggan dan masyarakat, sehingga slogannya adalah “it’s the intention that counts”. Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk aktivitas perusahaan dalam rangka memberikan nilai-nilai positif tersebut. Maraknya kegiatan CSR merupakan bentuk penyampaian maksud dan tujuan baik perusahaan untuk konsumen dan masyarakat, lihat saja bagaimana Aqua mendidik masyarakat akan pentingnya air bersih dengan mengadakan sumber-sumber air bersih bagi daerah-daerah tertinggal di Indonesia, bagaimana GE mengembangkan Ecomagination di China, dan berbagai program-program Go Green perusahaan-perusahaan lain dalam rangka menciptakan bentuk kepedulian lingkungan, semua itu bertujuan menciptakan corporate image di masyarakat.

Aspek spiritual lainya adalah “kejujuran”, terbukanya informasi oleh perkembangan teknologi menuntut perusahaan untuk jujur dalam melakukan komunikasi pemasaran, masyarakat tak lagi bodoh dan mudah diperdaya oleh iklan produk yang menggiurkan. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap iklan dan komunikasi pemasaran lainnya menuntut perusahaan untuk merumuskan ulang bagaimana sebaiknya melakukan pemasaran, yaitu dengan kejujuran. Saat ini perusahaan yang tidak jujur tidak akan mendapatkan hati pelanggannya, sekali perusahaan berbohong kepada seorang pelanggan saja dan mengewakannya maka kekecewaan itu akan dengan mudah menyebar melalui berbagai jaringan sosial dan forum-forum di internet, dan pada akhirnya image produk dan perusahaan tersebut akan dengan sangat cepat merosot tajam. Inilah pentingnnya perusahaan menjaga aspek spiritual dalam manajemen pemasaran.

1 komentar:

  1. yah..betul jujur adalah kunci sukses sebagaimana Nabi Muhammad SAW contohkan

    BalasHapus

Me and My Piano

Me and My Piano

My Motivation Word

The way to get started is to quit talking and begin doing.